Aku asyik dengan HP ketika sahabatku sibuk memilih baju yang
ingin dibelinya. Selesai membayar 2 set gamis dia menepuk pundakk.
“Enggak tertarik? Cakep-cakep gini, murah lagi,” katanya
padaku dengan wajah keheranan.
“Enggak, aku gak biasa beli baju sendiri. Aku biasa dibeliin
suamiku, dia sama anak-anak yang milih,” kataku cuek.
“Ih lucu, yang mau pakai kan kamu. Kenapa gak kamu yang
pilih?” nada kemal alias kepo maksimalnya mulai muncul.
“Yang mau lihat kan suami sama anak-anak, kalau bukan untuk
menyenangkan mata mereka, aku mau nyenengin mata siapa?” jawabku santai
Kami berjalan ke mobil, dan bergegas masuk lalu melanjutkan
perjalanan.
“Loh kalau selera mereka gak sama denganmu? Laki-laki mana
ngerti model,” katanya lagi
“Hehehe… aku gak rewel soal selera. Lihat sendiri, aku cuek
dalam penampilan. Yang penting bersih, nyaman dan aurat tertutup sesuai
syariat. Suami dan anakku yan pilihkan, mereka kurang nyaman kalau aku agak
“tampil” makanya model – model bajuku kebanyakan ya klasik yang tak lekang
dimakan masa hihihi…model konvensional. Kalau udah model macem-macem, masanya
lewat ya make baju itu kayak kudet. Tapi kalau yang klasik ya sepanjang masa ya
oke aja,” kataku lagi.
“Ah jangan-jangan suamimu pelit, begitu tuh sengaja biar
irit. Masa kamu gak ada kepinginan model – model baju sekarang kan lucu, modis.
Lihat tuh ibu-ibu nganter anak sekolah atau kumpulan pengajian aja udah kayak
fashion show, modelnya macam-macam,” timpalnya lagi.
“Pelit? Enggak kalau menurutku sih. Soal kenyamanan aja,
lagian suami sama anak-anak gak suka yang model macam-macam, kayak payet
ataupun renda-renda. Pokoknya yang nyaman dan sederhana,” jawabku.
“Kalau ke undangan?” Tanyanya lagi.
“Ya biasa aja juga. Gak ada yang spesial,” jawabku.
“Eh, tapi kalau undangan kan paling enggak musti “gaya
dikit”, penampilan kita kan bakal diperhatiin orang, lagian kalau keundangan
biasa-biasa aja kayak gak menghargai yang ngundang,” celotehnya.
“Itu undangan manusia, jadi biasa aja. Tampil sederhana kan
bukan berarti gak menghargai. Kalaupun ada dress code ya yang penting menuhin
ketentuan aja, soal model gak penting. Mempersiapkan undangan Allah baru
istimewa, dress code nya 2 . Undangan pertama kalau dapet undangan panggilan ke
Baitullah pake dress code Ihram, itu udah lewat tuh,Nah tinggal nunggu undangan
akhir pakai dress code pocong kafan. Daripada sibuk sama model pakaian, mending
kita sibuk sama model amalan. Biasanya kalau belanja pakai syahwat, giliran
diajak sedekah udah kaya orang paling melarat.”
“Ih..gitu ih ngomongnya, aku kalau beli baju satu aku
keluarin baju satu dari lemari buat sedekah. Beli dua juga aku keluarin dua
buat sedekah. Kan sama aja sedekah, lagian aku perhatiin kamu tuh emang pelit,
sadar enggak kamu tuh orang yang paling jarang belanja dibanding temen-temen
lain, ditawarin jualan apapun selalu pake jurus ajian geleng sambil nyengir,”
nadanya mulai BeTe
“Eh… yang larang beli baju siapa?” Kataku tertawa.
“Kok jadi sensi. Ya nafsi-nafsi aja. Itu kan aku jelasin
life style ku, kan kamu ngepoin aku. Giliran dijawab malah sensi. Kalau aku
udah dari dulu gak terlalu ngikutin selera. Semua pengeluaran base on priority
aja. Skalanya kebutuhan bukan kenikmatan. Khawatir nikmat di dunia giliran
hisabnya nanti gak bisa dipertanggung jawabkan. Ngumpul koleksi barang ini itu
jadi pajangan, nanti di yaumil hisab semua dipertanggung jawabkan. Kadang
manusiawi juga kan ada aja keinginan, tapi kadang mikir, ah beli baju cuma
sekian, beli tas cuma sekian bisa dicicil, aneka perabot dapur dicicil cuma
sekian, dihitung-hitung total lumayan juga posnya. Kalau hidup berdasar selera
gak selesai-selesai keingingan kita, padahal kalau kita alokasikan
cicilan-cicilan itu, atau belanja ini itu bisa buat tabungan umroh atau haji
gak kerasa ya ngumpul juga,” kataku coba menjelaskan.
“Iya juga ya… Padahal segala baju, asessoris, perabot banyak
di rumah, dipakai belum cuma jadi pajangan. Gilirann lihat orang berangkat
umroh atau haji, sedih selalu ngerasa gak mampu finansial. Padahal kalau emang
diniatin barang-barang yang bikin sesak rumah itu nilainya bisa cukup buat
tabungan,” katanya setengah bergumam.
“Nah… itu juga pikiranku dulu. Jadi akhirnya aku mendidik
diriku sendiri. Yang namanya perempuan ya ada aja hasratnya pingin punya ini
itu, tapi setiap aku ingin sesuatu pasti aku gak akan beli. Suamiku sampai
hafal kalau aku pingin sesuatu bulak balik aku pegang, maka bisa dipastikan gak
bakalan dibeli. Tapi dia gak tau tuh kalau aku buka tabungan sendiri. Setiap
aku pengen sesuatu, aku transfer uang sejumlah harga barang itu ke rekening
khusus ngumpulin buat haji. Lama-lama aku kebiasa buat gak terlalu nurutin
keinginanku sendiri, alhamdulillah ternyata gak lama ngumpulinnya dan lucunya
apa-apa yang aku inginkan itu tetap jadi milikku tanpa perjuangan, ada aja yang
ngasih hadiah atau dapet gratisan dari mana-mana. Jadi kalau aku biasain
belanja tuh kebutuhan hidup aja, kalau gaya hidup gak usah diturut. Jadi bukan
pelit ya… catet…” kataku sambil tertawa.
“Iyaa… iyaa… musti belajar memilah kebutuhan hidup sama gaya
hidup ya, kalau enggak bisa gak kelar-kelar urusan mata. Belajar qonaah juga
yaa..tapiii ya ampuuun kebayang susahnya,” katanya sambil tertawa.
“Yah… belajarlah, semua kan berproses,” kataku menyemangati.
Kamipun tertawa dan asik berceloteh berbagai bahasan.
“Kebanyakan kita sibuk memenuhi gaya hidup, bukan kebutuhan
hidup. Padahal kita malah lebih sering disibukan karena pemenuhan gaya hidup
bukan kebutuhan hidup, hingga tidak jarang kita tergelincir pada rasa kufur dan
lupa bersyukur. Selalu merasa kurang padahal rejeki setiap nyawa sudah ada
jaminannya dari Allah, jika kita merasa kurang mungkin ada baiknya intropeksi
lagi bisa jadi ada yang kurang pas dalam mengelola rejeki kita.”
Related Posts: